Nikmatnya Umrah Kedua


Alhamdulillah Umrah pertama sudah selesai dikerjakan pada malam setibanya kami di Mekkah. Esok lusanya, saya dan beberapa jema’ah yang ingin melakukan umrah sunnah yang kedua didampingi ihram di Miqat terdekat untuk kemudian dipersilakan mengerjakan rukun-rukunnya sendiri apabila memang mau. Sedangkan pada ibu-ibu dan jemaah lain yang sudah sepuh maka tetap mengikuti bimbingan dari ustad yang ditunjuk. Berpikir tentang efisiensi waktu, maka saya pun mengerjakannya bersama seorang teman sebaya, Nurrahma. Tapi ketika sedang thawaf mengelilingi Ka’bah kami terpisah, dan terpaksa melanjutkan rangkaiannya sendiri-sendiri.

Kebetulan saat itu bertepatan pada hari Senin, seperti yang sudah saya ceritakan pada posting sebelumnya, bahwa saya berpuasa pada hari tersebut.

Saya percaya bahwa setiap jama’ah yang datang ke Baitullah adalah tamu Allah. Dan saya yakin, Allah akan menjamu tamu-Nya dengan baik. Entah ini hanya perasaan saya semata atau memang termasuk jamuan Allah, thawaf pada umrah kedua yang saya lakukan pukul dua belas siang menjelang waktu dzuhur dalam keadaan berpuasa itu terasa sungguh luar biasa. Matahari sangat terik ketika itu, tapi sungguh saya tidak merasakan kepanasan yang sebanding dengan apa yang seharusnya, apa yang memang ditunjukkan derajat celcius dalam thermometer digital penunjuk suhu yang terpampang di halaman masjid ketika itu, sekitar di atas 40 derajat celcius. Tubuh saya memang merespon dengan keluarnya cairan keringat yang bercucuran. Tapi misteriusnya, saya tidak kepanasan. Sungguh ini nyata dan tidak mengada-ada. Salah besar ketika saya dahulu sempat ragu-ragu untuk melangkah hanya lantaran prakiraan cuaca menyebutkan bahwa Mekkah dan Medinah akan memasuki masa terpanasnya bulan Juli ini. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, Ia lah yang menghadirkan rasa..

Usai thawaf, saya melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke rukun umrah berikutnya, yaitu Sa’i. Hikmah yang tidak kalah pentingnya kembali saya dapati dari perjalanan Safa – Marwah ini. Dalam versi yang lebih ringan, saya seperti menjadi Siti Hajar. Dalam keadaan sendirian (tidak bersama rombongan), haus, lapar, (agak) kepanasan, dan kelelahan saya menuruni Safa – mendaki Marwah – Menuruninya lagi – dan kembali mendaki Safa berturut-turut sebanyak tujuh kali. Bohong kalau kali ini saya bilang tidak capek. Capek memang, tapi nikmat.. Terbayanglah oleh saya betapa tidak sebandingnya apa yang saya kerjakaan saat itu dibandingkan perjuangan ibunda Siti Hajar dahulu. Jadi sepatutnyalah kita banyak-banyak bersyukur atas perjuangan beliau sehingga sampai pada detik ini, sumur zam-zam tidak pernah kering dan senantiasa mencukupi kebutuhan air minum para jama’ah haji dan umrah, mata air yang Allah hadiahkan pada ibunda Siti Hajar bagi keturunan-keturunannya. Alhamdulillah..

No comments:

Post a Comment