Langkah Pertama

Tidak terjadi sebuah perjalan tanpa diawali langkah pertama. Tak perlu terlalu besar, cukup sejengkal. Namun tahukah, sekedar untuk memulai sejengkal langkah pertama untuk sebuah perjalanan luar biasa, kita memerlukan keberanian yang besar, pertimbangan yang matang, dan iman. Bukan hanya iman pada Tuhan, tapi keimanan --keyakinan-- pada perjalanan yang baru saja akan kita mulai. Dan di sinilah, saya akan memulai sebuah chapter perjalanan yang merupakan bagian kecil dari perjalanan panjang hidup saya. Saya menyebutnya, himpunan perjalanan.

Adalah mimpi salah seorang sahabat saya yang ingin bertandang ke Baitullah Makkah bersama ibundanya. Subhanallah. Saya pun jadi ikut-ikutan memimpikan hal yang sama dengannya. Latah yang tidak umum memang kedengarannya. Tapi memang begitulah adanya. Menunaikan ibadah UMRAH lantas kemudian menjadi salah satu resolusi pencapaian saya di tahun 2011 ini.

Hidup yang saya alami begitu rumit tahun-tahun terakhir ini. Serumit apa? Tak perlulah dibayangkan. Toh setiap kerumitan itu sifatnya relatif. Hanya saja, untuk seporsi yang saya nikmati saat ini, cukup membutuhkan upaya keras untuk menjejalkannya pada 'mulut' saya, pelan-pelan dan harus sangat hati-hati mencernanya, mencoba bisa merasakan khasiatnya agar tidak menjadi feces begitu saja. Haha..ngelantur. Rasa sakit itu (red: kerumitan, kesulitan), selagi tidak mematikan, ia akan menguatkan. Sama seperti obat, pahit, tapi bisa jadi jalan menyembuhkan. Demikian, salah satu niatan saya menjalankan ibadah UMRAH. Saya hendak mencari kekuatan di sana. Memanjatkan puji syukur ritual penghambaan saya pada Allah sebagai Tuhan yang saya sembah. Saya ingin bermunajat di sana. Bukan mengharapkan penghidupan yang lebih mudah, tapi keteguhan hati yang kuat untuk bisa melalui apa pun bentuk ujian dalam hidup itu nantinya. Saya sadari saya ini lemah iman. Grafik keimanan saya terus berfluktuasi, dan saya khawatir, gradiennya semakin miring ke bawah. Iman itu abstrak, tidak tampak.

NIAT. Itu adalah awal dari langkah pertama saya. Tiba-tiba saja, niat bisa menjadi sangat berat ketika saya ragu-ragu untuk melangkah. Banyak sekali polemik yang bergelayut di hati dan pikiran saya. Pertama, semula saya berencana berangkat umrah selepas teman saya mengembalikan uang yang dipinjamnya dari saya beberapa waktu lalu. Jumlahnya lumayan cukup besar. Hampir separuh dari biaya umrah itu sendiri. Tapi karena satu dan berbagai hal, ia belum bisa mengembalikannya secara utuh dalam waktu dekat. Saya pun bimbang. Entah apa yang menguatkan saya, saya memutuskan untuk rela menggunakan tabungan saya secara penuh ditambah gaji saya bulan berikutnya yang semoga saja cukup. Mumpung masih muda, sehat, dan insya Allah mampu secara fisik maupun materi. Setelah selesai dengan masalah pertama, saya kembali dihadapkan pada polemic kedua. Prakiraan cuaca yang menyebutkan bahwa kota Mekah dan Madinah akan memasuki masa terpanasnya pada bulan Juli, bahkan bisa mencapai 50 derajat, cukup mengkhawatirkan saya. Bayangkan saja, tempat saya biasa sauna hanya sekitar 39 derajat celcius. Alamaaakk..macam mana panasnya nanti. Bagaimana di sana nanti ya. Saya sempat terpikir untuk menunda keberangkatan saya tahun depan saja. Sekali lagi saya berpikir keras. Tidak ada hal yang tidak mungkin bagi Allah. Kita adalah tamu-Nya. Allah yang akan menjamu kita. Bisa saja derajat suhu menunjukkan angka lima puluh, tapi bukan hal yang susah bagi Allah untuk membuat kita tetap merasa sejuk di rumah-Nya. Selesai sudah pergulatan saya dengan polemic yang kedua. Tidak sampai disitu, saya baru ‘ngeh’ kalau jadwal perjalanan saya sangat dekat dengan periode haid saya. Aduuuhh..kenapa jadi rumit begini. Saya jadi khawatir kalau-kalau nanti datang bulan saat di kota suci. Mau nangis saya rasanya. Sempat terpikir untuk mengkonsumsi obat penunda haid, konsultasi ke dokter, atau semacamnya untuk bisa memastikan saya tidak datang bulan selama perjalanan. Beberapa hari hal ini merusak mood saya, membuat saya murung. Tapi saya selalu mencoba untuk tetap berpikir dengan kepala dingin. Haid merupakan pemberian Allah, saya pribadi berpendapat kalau menunda haid itu sama saja dengan tidak ikhlas menerima apa yang Allah tetapkan atas kita. Sedangkan, ngoyo tidak kepingin haid dengan niatan agar ibadah bisa maksimal di Tanah suci, itu juga baik, namun seperti agak egois.. agak ironis.. di sisi yang satu kita datang ke Baitullah sebagai seorang hamba tanpa atribut dunia, tapi di sisi yang lain justru kita tidak ikhlas menerima haid yang datang pada kita yang memang merupakan karunia Allah juga. Berpikir demikian membuat perasaan saya jauh lebih baik. Mana tau, pahala keikhlasan kita menerima keadaan haid selama di tanah suci bisa sama dengan pahala umrah itu sendiri.. walallahualam.. itu biar menjadi urusan Allah. Begitulah pendapat saya. Mungkin bisa jadi berbeda kalau situasinya adalah perjalanan haji yang memang lingkup waktunya terbatas.

Maka dengan niat (yang semoga tetap kuat menjemput ketetapan-Nya) saya mendaftarkan diri untuk ibadah umrah periode 13-21 Juli 2011 di Maghfirah Tour & Travel. Bismillah.. Dibantu Mbak Laura Syamina, saya menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk persiapan keberangkatan. Saya hanya tinggal menunggu visa saya keluar dan di kamar jenis apa saya akan ditempatkan untuk bisa menentukan jumlah biaya yang perlu saya bayar.

Baru sebentar saya merasa tenang dan mantap. Baru saja berdamai dengan polemik ketiga, polemik keempat muncul di hadapan saya dengan seringai luar biasa percaya diri hendak menggugurkan niat saya. Apa lagi ini yaa Rabb?? Hubungan bilateral Indonesia dengan Kerajaan Saudi Arabia menegang. Yang paling hangat dibicarakan adalah soal hukuman pancung yang telah dilakukan pada seorang tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di sana. KSA memotong kuota jema’ah haji dan umrah (dari Indonesia) secara besar-besaran. Banyak visa yang tidak keluar. Dari lebih dua ratus visa yang biasa dikeluarkan setiap harinya.. saat itu tidak sampai sepuluh persennya saja yang keluar, yakni sekitar 17 visa. Banyak perjalanan umrah yang dijadwalkan ulang. Maka kali ini, benar-benar hanya undangan Allah lah yang pada akhirnya menjadi jalan saya bertandang ke Baitullah..

Pada tanggal 8 Juli saya mendapat kabar baik dari Mbak Laura bahwa Visa saya sudah keluar dan passport sudah dikembalikan. Jadwal terbang tidak diundur, tetap tanggal 13 Juli 2011.. Alhamdulillah.. Allahu akbar.. Inilah langkah pertama saya.. Labbaika Allahumma Labbaika..

Fly to Baitullah


Rabu 13 July 07:45 WIB Saudi Arabian AirLines

sudah hampir delapan jam kami terbang, seharusnya tidak berapa lama lagi kami mendarat. Well, kalau baik atau tidaknya mutu pelayanan suatu maskapai penerbangan diniliai dari seberapa seringnya mereka memberi makanan, maka saya kasih four point five stars untuk Saudi Arabia Airlines.Namun jika anda dapati saya terlalu 'norak' atau kemudian anda jadi bereaksi, 'yaa emang gitu kaleee'.. maka Anggaplah saya awam, toh ini memang kali pertamanya saya naik pesawat yang bukan airasia -- yang bukan jarak dekat -- yang bukan dibeli dengan harga promo :D. Jadi saya belum paham betul bagaimana culture saat terbang di udara (yaa eyaalahh.. Mosok terbang di air :P)Well, Untuk delapan jam waktu terbang, mereka menyuguhi kami tiga sesi waktu memberi makan. Yang pertama, mereka menyuguhkan aneka jus buah setelah setelah dua jam terbang, kbetulan nasi kotak saya tadi siang belum sempat dimakan, sekalian saja saya makan mumpung sedang dapat minuman (red: selepas boarding, jangan harap punya air minum bisa dibawa sampai ke pesawat). Tidak selang berapa lama, mereka menyuguhkan sekali paket makan 'berat'. Terdiri dari salad + thousand island, roti + butter, spagheti ikan (saya pilih menu ikan), dan dessert berupa semangkuk kecil puding. Alih-alih makan, mereka juga menawarkan teh dan atau kopi. Memang nikmat jika minum kopi setelah makan, tapi tahukah, itu bukan pola hidup sehat yang baik, kandungan dalam kopi menyebabkan lemak berkembang cepat dalam metabolisme tubuh kita.. Just FYI hehehe..

Kemudian, mendekati waktu pendaratan, mereka mengulangi pola kedua. Bedanya kali ini saya memilih paket nasi kebuli + ayam. Yaa Ampunn.. Beneran lohh.. Saya tekanan batin ngabisinnya. Mosok sekali terbang saja, saya sudah deposit begitu banyak asupan kalori. Stress,,, bukan cuma itu, belakangan ini memang saya sedang mengaplikasikan pola hidup sehat dengan makan hanya ketika lapar. Sedih rasanya kalau harus tidak menghabiskan makanan, sekalipun makanannya tidak di makan, saya berani bertaruh kalau makanan itu tetap akan berakhir di tong sampah. Biasanya regulasi yang ditetapkan memang seperti itu sejauh yang saya tahu. Maka untuk makanan kedua ini, saya selipkan ke tas saja nasi kebuli + ayamnya. Tadi saya buka untuk kepentingan dokumentasi saja.. hehe.. Moga-moga saja nanti bisa bermanfaat.

Bicara soal pengalaman terbang kali ini, saya tidak banyak terkejut. Menarik. Lucu. Dan untungnya tidak memancing emosi..

Di migrasi. Saya sengaja memilih yang antrian yang paling pendek. Ealaahhh.. Para ibu-ibu dari calon jemaah umroh dari antrian sebelah malah pindah nyamperin temennya yang ada di antrian saya, yang berdiri di depan saya, berkali-kali sampai lebih dari tiga kali, saya di salip.. Serius, saya tidak kepingin marah. Maklumlah, ibu-ibu. Saya malah jadi lucu sendiri melihat tingkah polah mereka.

Di pesawat.. sudah saya duga. Tempat duduk saya sudah ditempati orang lain. Padahal posisinya yg paling saya sukain, dan impiin, persis di sebelah jendela :( tapi karena sudah diduduki ibu-ibu yang tidak mau misah dengan keluarganya, terpaksa saya yang mengalah pindah. Lain cerita, seorang penumpang yang duduk di sebelah saya (red- orang Brebes), saya dapati sedang mengoles butter di rotinya (insting usil saya bilang -- beliau sempat curi pandang melihat cara saya makan ), saya sapa sambil lalu, 'ndak pakai gula Pak?' 'Oh, saya lagi ngurangin gula dik..' 'Oohh..' Tidak lama, saya perhatikan, mangkok puding vanilanya sudah bersih :D. Pesan moralnya, itu Bapak gengsi rupanya saya gap-in. Hahaha.. Abaikan.. Oiya, istrinya si Bapak makan rotinya pakai thousand island :D. Tapi malah dengan si Bapak dari Brebes ini, saya terlibat perbincangan panjang -- dalam bahasa Tegal yang kental. Saya yang kebetulan berdarah Tegal, jadi lawan ngobrol yang tek-tok buat beliau. Setengah jam berlalu saya menananggapi si Bapak bercerita, sebab porsi nya lebih banyak beliau yang cerita dan saya mendengarkan sekaligus merespon sekenanya ketimbang sebaliknya.

Ada kejutan lagi, saat saya menulis ini, si Bapak menyeletuk bangga, 'ini namanya hamburger'.. Saya lirik, beliau membelah dua rotinya, melapisi dengan butter dan saus cabai, kemudian menumpuknya lagi jadi menyerupai burger.. lol..

Sampai di sini, saya harus kembali pada hafalan do'a saya.. Cheers..

Rabu 13 July 07:10 Waktu Riyadh (23:15 WIB)

Oopps..ternyata bukan tiga sesi. Tetapi empat. Setelah transit satu jam dari Bandara Internasional Khaled di Riyadh, kembali para stewardess membagikan jus dan sandwich pada penerbangan menuju Madina. Wahh..kacau benar ini metabolisme badan. Tengah malam waktu Jakarta tapi masih dijejali kalori sebegini tinggi. Perspektif memang selalu relatif. Ada yang senang terus dibagi makanan, ada juga yang malah kebingungan, saya salah satunya..




Balada si Kantong Montah


Seduduknya saya di pesawat, selembar kertas yang menyembul di kantong kursi di depan saya menarik perhatian saya. Kantong Montah. Saya mencibir, merasa sudah cukup modern untuk melakukan ritual kuno semacam muntah dalam sebuah perjalanan. Saya tidak akan muntah. Saya jamin. Toh pada penerbangan saya yang pertama, beberapa bulan lalu ke Singapura, saya tidak muntah kok. Naik pesawat tidak sememualkan yang saya prediksi sebelumnya. Hahahaha.. saya malu sendiri kalau menceritakan hal ini. Delapan jam berlalu dengan aman, tapi siapa tahu, rasa eneg di dalam lambung saya justru naik ketika kami akan mendarat di Bandara Madina. Untung saja, saya tidak jadi menjejali si Kantong Montah dengan ragam makanan yang tidak saya makan untuk di bawa ke hotel (serius.. ide NO to the RAK itu sempat melintas di kepala saya :D). Teorinya itu, memuntahkan isi perut adalah langkah tepat yang perlu diambil ketika merasa mual dan pusing. Maka tanpa memperdulikan sekitar, saya mempersilakan si Kantong Montah untuk menjalankan tugasnya. Menampung isi perut saya.. haha.. hoeeeekksss…
Itu baru muntah sesi pertama. Tadinya saya sudah merasa lebih baik setelah muntah saat landing di bandara. Tetapi, bak sinetron yang tayang di televisi, ini muntah tidak mau kalah saing, masih bersambung pula rupanya ia. Kami menuju hotel Movenpick di Madinah dengan menggunakan bus. Asam lambung sudah naik ke mulut. Keringat dingin sudah membasahi punggung saya. Tidak nyaman sekali rasanya. Maka dengan mengesampingkan rasa malu di hadapan khalayak ramai yang belum saya kenal, saya memberanikan diri bilang sama ustad Zainal dengan penampilan bak artis sinetron yang sedang acting sekarat, “Ustaad..ada kantong plastic?? Saya mau.. hppp..” Saya menunjuk mulut saya yang saya katupkan, mengisyaratkan bahwa muntah ini sudah tak tertahankan lagi.. Alhamdulillah, pak ustad punya plastic. Besar pula kantong plastiknya… *memicingkan mata ke ustad sambil ngebatin,, “Maksut lohhh??? Muntahh gw bakalan segambrengg getooohhh??” hahaha.. sudahlah.. abaikan.. :D Saya jadi jemaah terakhir dalam bus yang turun belakangan. Tapi rasanya sungguh jauuh lebih baik. Alhamdulillah..


Pesan moralnya: Mual, pusing, dan kepingin muntah adalah tiga hal yang tidak dapat diabaikan dalam perjalanan. Baik darat, laut, maupun udara. Baik pagi, siang, maupun malam. Baik sudah makan, belum makan, ataupun pas makannya kekenyangan. Jadi alangkah baiknya untuk selalu siap sedia Kantong Montah atau kantong plastik pada setiap perjalanan yang anda lakukan. Sekian.

Yeaaayyy…akhirnya ngrasain juga apa yang orang sering bilang JetLag ^_^ #toyor ahhh

Ziarah ke Makam Rasulullah SAW


Tahukah di tempat yang mana hati saya begitu dalam menyelam selain di Ka’bah? Di salah satu bagian dari Masjid Nabawi. Di sana lah hati saya tertaut. Di sana terdapat Makam Rasulullah SAW, Shahabat Abu Bakar, dan Umar bin Khatab dan Raudhah. Dua kali saya berziarah ke tempat ini. Sayang sekali, hanya pada waktu-waktu tertentu tempat ini dibuka untuk jemaah perempuan. Yang paling berkesan bagi saya adalah pada kunjungan kedua. Saya dan seorang teman, Rahma menjadi dua tersisa yang mampu bertahan dari rombongan Brebes karena kunjungan diadakan pada malam hari. Ibu-ibu yang sudah sepuh kembali ke hotel karena dikhawatirkan kurang istirahat. Kami didampingi Mbak Yuni sampai di Raudhah pada pukul dua belas malam. Sulit diungkapkan dengan kata-kata bagaimana rasanya di sana. Ada kerinduan yang amat membuncah pada Rasulullah SAW. Kami begitu dekat kala itu. Rasanya dua kali shalat sunnah dua raka’at tak cukup untuk memenuhi kerinduan itu. Subhanallah.. nikmat banget rasanya berada di sana. Begitupun sebaliknya, berat sekali ketika harus meninggalkannya.. Ini adalah bagian yang saya simpan sangat baik dalam hati saya, sekalgus paling sulit untuk saya tuliskan.. entahlah.. saya ingin berziarah ke sana lagi suatu hari nanti.. insya Allah..

Thawaf Pertamaku


Saya datang dengan mempersiapkan begitu banyak do’a. Mengingat satu per satu do’a – do’a titipn kawan-kawan saya di tanah air. Sholat di depan Maqom Ibrahim sebagai salah satu tempat mustajab untuk berdo’a adalah saat yang paling saya tunggu-tunggu usai menyelesaikan thawaf pertama saya. Saat itu pun tiba. Putaran ketujuh selesai, dan saya mencari tempat yang saya anggap paling nyaman untuk berdo’a selepas sholat sunnah thawaf dua rakaat.

Saya menatap Ka’bah yang begitu agung di hadapan saya. Saya kehilangan kata-kata. Tidak tahu mau mulai berdo’a dari mana. Seperti mimpi saya berada di tanah suci. Maka ketika itu.. tak satu pun do’a yang sudah saya ingat dalam kepala saya terucap. Namun, nikmat dalam lafaz tasbih, tahlil, tahmid, takbir, dan istighfar yang baru pertama kalinya terasa begitu syahdu dan menyentuh itu menggantikan segalanya. Yang saya rasakan ketika itu hanya, “ya.. inilah yang saya cari..”. Pada cara yang amat misterius Allah menghadirkan perasaan itu.. perasaan lengkap.. dan sepertinya saya tidak butuh apa-apa lagi. Saya hanya ingin menikmati kerinduan yang tidak pernah secara langsung saya sadari, namun kini terpenuhi. Tersadarlah saya bahwa fitrah manusia sebagai seorang hamba yang memiliki kebutuhan akan Tuhan-Nya bukanlah teori semata. Ada saat dimana kita perlu datang hanya dengan membawa sebuah kesederhanaan, sebuah keberserahan, keberpasrahan tanpa misi-misi dunia untuk dipintakan..

Masjidil Haram


Salah seorang kawan seperjalanan saya tiba-tiba berkomentar saat kami sedang mengelilingi bagian dalam masjidil Haram.

“Kenapa yaa.. Kok aku ngrasanya masjid Nabawi itu lebih indah dari masjidil Haram ini?”
“Hmmm…” saya pun menanggapinya dengan gumam ringan seolah mengiyakan.

Butuh beberapa waktu bagi saya untuk bisa sependapat dengan kawan saya itu. Saya kembali mengamati hasil jepretan saya di Masjid Nabawi tiga hari yang lalu. Mengamati setiap detailnya dan menyimpannya dalam memori saya. Waktu berikutnya, saya mengamati masjidil Haram dengan lebih seksama. Siang dan malam saya coba membandingkan. Secara ukuran, luas, dan kapasitas jama’ah, tentu saja Masjidil Haram memang jauh lebih besar. Dari lantai dua masjid saya tak berhenti mengamati. Secara objektif, saya katakan bahwa bangunan Masjidil Haram ini lebih indah, menyerupa istana yang sangat megah. Namun entah mengapa, kesan yang timbul di hati saya memang lebih condong pada Masjid Nabawi di Madinah.

Tersadarlah saya, saya lupa bahwa Masjidil Haram memiliki bangunan Ka’bah di dalamnya. Ialah magnet yang menyedot semua keindahan bangunan Masjidil Haram. Tak peduli seindah apa pun design bangunan Masjidil Haram, Ka’bah lah inti dari eksistensinya. Ia yang menjadi pusat orbit putaran semua Jama’ah. Wajar saja jika saya dan rekan saya tersebut seperti sependapat untuk masalah yang satu ini. Ka’bah adalah inti dari keindahan Masjidil Haram. Subhanallah..

Puasa saat di Tanah Suci? Why Not?!


Ini adalah sebuah perjalanan istimewa untuk saya. Bukan hanya dari segi materi karena memang biayanya yang tidak murah, tapi juga dari beragam pergulatan batin dan kebimbangan yang mengiringi setiap keputusan yang saya ambil. Ini adalah kunjungan pertama saya di dua kota suci yang dimuliakan Allah, Madinah dan Mekah. Saya berpikir bahwa barang kali saja saya tidak memiliki kesempatan untuk kunjungan kedua, ketiga, atau seterusnya. Maka tidak salah rasanya untuk bisa melakukan ibadah puasa saat berada di sana. Kebetulan pada hari kamis saya berada di Madinah, dan pada hari Senin berikutnya saya berada di Kota Mekah. Di kedua hari itulah saya berpuasa. Anggaplah itu hadiah pribadi saya untuk kedua kota tersebut.

Sungguh sedapat mungkin tidak ada keinginan riya atau pamer ibadah dalam tulisan ini. Justru saya ingin menyampaikan apa yang saya alami dalam kaitannya dengan ibadah puasa tadi. Saya pribadi, merasa ‘keren’ dengan tetap istiqomah menjalankan puasa sunnah senin-kamis walaupun dalam cuaca sangat panas seperti di Mekah dan Madinah, ditambah dengan padatnya agenda harian yang disusun oleh panitia travel penyelenggara, merelakan lezatnya sajian sarapan dan makan siang di restaurant hotel (ya saya akui saya memang salah satu penganut paham ogah-rugi kalau soal urusan gratisan :D). Pokoknya mah saya merasa lebih keren dengan puasa dua hari tersebut. Tos kiteu weh lah..

Nah, sampai pada saat menunggu waktu boarding ketika akan terbang kembali ke tanah air, saya terlibat obrolan singkat dengan Datuk Bagindo Basa, pria usia baya yang memang sudah saya kenal sejak awal keberangkatan karena menggunakan jasa travel agency yang sama dengan saya. Saya ketahui ia sedang berpuasa ketika menanyakan waktu adzan maghrib pada saya.

“Pak Datuak sedang berpuaso yowh?” Saya bertanya dengan nada iseng dalam aksen padang, Pak Datuk itu dari Padang soalnya.
“Iya..” sambutnya
“Puasa apa Pak? Ini kan bukan hari Senin atau Kamis?” Saya penasaran ingin tahu.
“Alhamdulillah.. sudah lima tahun terakhir ini saya selalu puasa tiga bulan berturut-turut.. Rajab-Sya’ban-sampai Ramadhan..”

DEG!! Saya tertohok. Subhanallah sekali Mister Datuak ini. Ternyato.. sayo ini belum ado apo-aponyo dibandingkan beliau.. Antara terkesima dan iri dalam waktu yang bersamaan. Kalimatnya seperti menampar saya telak. Tamparan itu menyadarkan sekaligus memberikan motivasi kuat. Saya yang puasa Cuma dua hari begitu sombong dengan merasa keren, ternyatoooo bundooo… Pak Datuak itu jauuuuuhhhh lebih keren. Mudah-mudahan, insya Allah kalau umur disampaikan pada Rmadhan yang akan datang, mudah-mudahan saya mantap mengejar ketinggalan di Rajab dan Sya’ban tahun depan. Amin.

Jama'ah dari Busananya


Di tanah suci saya menemui banyak sekali ragam jemaah perempuan. Pertama kali datang, saya mengalami culture shock tentang betapa berbedanya karakteristik dan cara berbusana jemaah dari Indonesia dan jemaah dari belahan dunia bagian lainnya. Beberapa yang paling sering saya temui adalah ibu-ibu berusia lanjut dengan perawakan tinggi dan besar, sebagian dari mereka memiliki aroma yang khas, saya biasa melabeli mereka dengan ‘wanita beraroma kari’, entah saya sendiri juga tidak tahu bagaimana aromanya kari, tapi yaa begitulah. Saya tidak tahu tepatnya dari Negara mana mereka berasal. Sebagian dari mereka tidak ramah seperti orang Indonesia, tidak sabaran, dan kadang tidak mau berbagi tempat untuk shalat dengan jema’ah yang lain. Pernah suatu ketika, saya terusir dari tempat yang saya duduki dari tadi. Saya sudah duduk, si Ibu ini datang dan duduk persis di belakang saya (red: mepet). Ketika bangun dan akan mulai shalat, dia mengklaim itu sebagai tempatnya. Mau mewek rasanya. Untung saya datang bersama Budhe saat itu. Dan dua orang lainnya di sebelah kami juga sama-sama orang Indonesia. Jadi kami berdiri lebih merapat untuk memberikan tempat shalat untuk saya. Memang tidak semuanya seperti itu. Ada juga yang murah senyum dan mau berbagi. Hanya saja intensitasnya saya lebih sering ketemu dengan yang tipe pertama tadi.

Bicara tentang cara berbusana, paling mudah mengenali jemaah dari Indonesia, karena mereka biasanya hanya mengenakan atasan mukena saja jika ikut shalat berjama’ah di masjid. Sedangkan jema’ah dari Turki biasanya berpenampilan modis. Dengan blazer terusan panjang yang khas, berpostur tinggi tapi tidak terlalu besar, dengan pahatan muka campuran antara timur tengah dan eropa. Cantik-cantik sekali jemaah yang berasal dari turki ini. Banyak pula jemaah yang mengenakan busana hitam-hitam dan bercadar, jadi saya tidak bisa membedakan mereka. Saya merasa, selain untuk tujuan keamanan, berbaju hitam-hitam dan bercadar memang pilihan busana paling nyaman dan tepat jika kita tinggal di sana. Mekah dan Madinah termasuk kota yang beresiko kejahatan dengan perempuan sebagai korbannya.

Tersesat di Jabal Rahmah


Terceritalah bahwa Jabal Rahmah ini adalah tempat bertemunya nenek moyang kita Nabi Adam AS dan Siti Hawa setelah berpisah selama dua ratus tahun. Diceritakan bahwa keduanya melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang, dan akhirnya di turunkan dari surge ke muka bumi secara terpisah. Setelah dua ratus tahun, dengan doa dan taubat yang tak ada putus-putusnya, Nabi Adam AS bertemu kembali dengan Siti Hawa di Jabal Rahmah ini. Kerajaan Saudi Arabia membangunkan sebuah tugu sebagai penanda di puncak Jabal Rahmah. Sebetulnya tidak ada yang meriwayatkan kalau tempat ini adalah tempat yang mustajab untuk berdoa ataupun ada tuntunan untuk berdoa di tempat ini. Namun bukankah berdo’a itu bisa dimana saja? Jadi berdo’a di tempat ini pun tidak ada salahnya.

Seperti biasanya, saya seperti menjadi bocah petualang yang terbiasa kemana-mana sendirian. Menyelinap keluar dari rombongan dan mengelilingi sekitar seorang diri. Dengan gamis saya mendaki Jabal Rahmah. Keren sekali rasanya.. hahaha.. Tapi tentu saja dengan tetap berdo’a agar tidak sampai tergelincir. Yepp.. saya sukses mendaki Jabal Rahmah sampai ke puncaknya. Tugu putih itu dikerubuti begitu banyak orang. Mereka menulisi tugu itu dengan.. hmm.. entahlah. Tapi katanya sih menulisi nama pasangan yang mereka inginkan. None of my business. Apa jadinya ya, kalau mereka sudah menuliskan nama si A di sana, tapi setiba di Negara asalnya justru malah jatuh cinta sama si B.. ahahahayy.. abaikan..Saya memperhatikan, alangkah beruntungnya mereka yang dengan yakin bisa menuliskan nama pasangan yang mereka inginkan. Sedangkan saya? Saya seperti punya masalah akut dengan membuka hati pada seorang pria. Saya ini gampang sekali suka sama orang sebetulnya, dengan tempo yang singkat bisa sangat menggilai mereka, dan dengan tempo yang sama singkatnya bisa patah hati dan lupa begitu saja. Tidak sehat. Anggaplah itu main-main. Jika datang yang sekiranya seperti akan serius, selalu saja saya tidak bisa menghindarkan diri dari perasaan antara expecting dan denying. Yaaa sebetulnya saya juga kepingin serius, tapi kadang saya sendiri yang membuatnya rumit. Saya selalu mencemaskan bagaimana keluarga saya nanti, saya ini tulang punggung keluarga, adik saya masih kuliah, nenek yang saya tanggungg suka sakit-sakitan, bagaimana jika hubungan yang saya bangun tidak sukses, bagaimana kalau nanti saya gagal, bagaimana kalau ternyata saya belum benar-benar siap.. aaargghh.. Saya bingung sendiri mau berdo’a apa di Jabal Rahmah. Saya cuma berdoa agar bisa dipertemukan dengan jodoh sekali seumur hidup saya pada tempat dan waktu yang tepat, memohon Allah menjaga hati saya dan mencintakannya pada ia saja yang memang menjadi jodoh sekali seumur hidup saya, memohon agar Allah mau berbaik hati membimbing saya membuka diri, semoga Allah berkenan mengabulkan do’a orang-orang ini, memberikan kelapangan hati pada mereka (juga saya) untuk bisa menerima kalau-kalau do’anya belum bisa dijabah atau digantikan dengan sesuatu yang lain..

*yang bingung mau do’a apa kok yaah panjang bener curhatnya.. :-P

Tidak terasa,, lumayan lama juga yah saya berdoa. Saya pun bersiap-siap untuk menuruni Jabal Rahmah kembali ke Bus. Tidak seru kalau melintasi jalan yang sama ketika mendaki tadi. Demikian saya berpikir. Saya memilih setapak yang tidak jauh dari tempat saya mendaki. Saya pun turun pelan-pelan. Sesampainya di bawah.. oooopsst.. dimana ya Bus saya parkir tadi? I was officially lost..

Saya pun terpaksa menelepon ustad yang membimbing rombongan dalam bis saya which is merupakan salah satu pantangan dalam bertualang.

“Ustaaadd….saya nyasaaar..” saya merengek

Singkat cerita. Saya pun memberi petunjuk tempat saya berdiri, dan pak ustad yang saya telepon tadi menghampiri tempat saya. Senangnyaaaa… ^_^ ternyata, sebetulnya saya turun tidak jauh dari tempat bus saya terparkir, hanya saja saya memutar ke arah yang salah.. yang malah makin menjauh memutari bukit.. Payahhh.. #toyorrr

Nikmatnya Umrah Kedua


Alhamdulillah Umrah pertama sudah selesai dikerjakan pada malam setibanya kami di Mekkah. Esok lusanya, saya dan beberapa jema’ah yang ingin melakukan umrah sunnah yang kedua didampingi ihram di Miqat terdekat untuk kemudian dipersilakan mengerjakan rukun-rukunnya sendiri apabila memang mau. Sedangkan pada ibu-ibu dan jemaah lain yang sudah sepuh maka tetap mengikuti bimbingan dari ustad yang ditunjuk. Berpikir tentang efisiensi waktu, maka saya pun mengerjakannya bersama seorang teman sebaya, Nurrahma. Tapi ketika sedang thawaf mengelilingi Ka’bah kami terpisah, dan terpaksa melanjutkan rangkaiannya sendiri-sendiri.

Kebetulan saat itu bertepatan pada hari Senin, seperti yang sudah saya ceritakan pada posting sebelumnya, bahwa saya berpuasa pada hari tersebut.

Saya percaya bahwa setiap jama’ah yang datang ke Baitullah adalah tamu Allah. Dan saya yakin, Allah akan menjamu tamu-Nya dengan baik. Entah ini hanya perasaan saya semata atau memang termasuk jamuan Allah, thawaf pada umrah kedua yang saya lakukan pukul dua belas siang menjelang waktu dzuhur dalam keadaan berpuasa itu terasa sungguh luar biasa. Matahari sangat terik ketika itu, tapi sungguh saya tidak merasakan kepanasan yang sebanding dengan apa yang seharusnya, apa yang memang ditunjukkan derajat celcius dalam thermometer digital penunjuk suhu yang terpampang di halaman masjid ketika itu, sekitar di atas 40 derajat celcius. Tubuh saya memang merespon dengan keluarnya cairan keringat yang bercucuran. Tapi misteriusnya, saya tidak kepanasan. Sungguh ini nyata dan tidak mengada-ada. Salah besar ketika saya dahulu sempat ragu-ragu untuk melangkah hanya lantaran prakiraan cuaca menyebutkan bahwa Mekkah dan Medinah akan memasuki masa terpanasnya bulan Juli ini. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, Ia lah yang menghadirkan rasa..

Usai thawaf, saya melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke rukun umrah berikutnya, yaitu Sa’i. Hikmah yang tidak kalah pentingnya kembali saya dapati dari perjalanan Safa – Marwah ini. Dalam versi yang lebih ringan, saya seperti menjadi Siti Hajar. Dalam keadaan sendirian (tidak bersama rombongan), haus, lapar, (agak) kepanasan, dan kelelahan saya menuruni Safa – mendaki Marwah – Menuruninya lagi – dan kembali mendaki Safa berturut-turut sebanyak tujuh kali. Bohong kalau kali ini saya bilang tidak capek. Capek memang, tapi nikmat.. Terbayanglah oleh saya betapa tidak sebandingnya apa yang saya kerjakaan saat itu dibandingkan perjuangan ibunda Siti Hajar dahulu. Jadi sepatutnyalah kita banyak-banyak bersyukur atas perjuangan beliau sehingga sampai pada detik ini, sumur zam-zam tidak pernah kering dan senantiasa mencukupi kebutuhan air minum para jama’ah haji dan umrah, mata air yang Allah hadiahkan pada ibunda Siti Hajar bagi keturunan-keturunannya. Alhamdulillah..